18 Maret 2009

BELAJAR ”ILMU MALU”

Oleh: Hamdani, SE
RASA MALU merupakan sumber kemuliaan akhlak, sekaligus pendorong untuk melakukan kebaikkan dan meninggalkan kejahatan. Para ulama berpendapat, hakikat malu adalah budi pekerti yang mengajak agar meninggalkan kejelekan dan mencegah mengurangi hak orang lain. Dalam sebuah riwayat Abul Qasim Al Junaid ra, ia berkata: ”Malu adalah memandang kebaikan dan melihat kekurangan diri sendiri. Dari kedua pandangan itu, lahirlah perasaan yang dinamakan malu.”


Dalam situasi yang serba sulit (krisis) saat ini, adalah penting bagi kita untuk belajar ”ilmu malu”. Sebab rasa malu akan mencegah seseorang melakukan sesuatu yang tercela. Bila rasa malu ini terus tumbuh dan berkembang maka seseorang tidak akan melalukan maksiat, perbuatan keji dan berbagai perilaku yang menunjukkan kerendahan akhlak. Sebaliknya, bila dalam diri seseorang tidak ada lagi rasa malu, maka tidak ada lagi yang menghalanginya untuk melakukan perbuatan keji dan hina.
Lawan dari rasa malu adalah tidak tahu malu alias ”mane duli...” Ini adalah sifat yang tercela, karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan segala cercaan hingga dia melakukan semua kejahatan dengan terang-terangan. Orang yang tidak memiliki rasa malu—kepada Allah swt dan kepada sesama manusia—tidak akan jera dari melakukan kejahatannya kecuali dengan hukuman yang tegas dan keras. Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshari Al Badri ra berkata, Rasulullah saw bersabda : ”Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para nabi terdahulu adalah, ’Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu.”(HR Bukhari).
Jadi rasa malu adalah kebaikkan. Semakin tebal rasa malu yang dimiliki, maka semakin banyak kebaikkannya. Semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikkannya. Sebagaimana ditegaskan pula dalam sebuah hadist dari Imran bin Hushain ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikkan.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam Riwayat Muslim dikatakan: ”Setiap perasaan malu mengandung kebaikkan.”
Memang, rasa malu juga harus ditempatkan pada tempatnya. Salah menempatkan rasa malu, justru tidak akan melahirkan kebaikkan. Misalnya rasa malu yang berlebih-lebihan hingga membuat seseorang menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu melakukannya. Hasan Al Bashry berkata, ”Malu ada dua macam, yang pertama merupakan bagian dari iman, dan yang kedua merupakan kelemahan.” Karena itu, kita harus pandai menempatkannya, saat kapan dan tentang apa kita harus malu, serta saat kapan dan tentang apa kita tidak harus malu. Sebagai contoh, kita tidak perlu malu saat menyampaikan sebuah kebenaran. Dalam Al Quran surah Al Ahzab ayat 53 juga ditegaskan: ”...dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.”

Masih Ada?
Ketika rasa malu masih ada dan ditempatkan pada tempat yang tepat, tentu akan melahirkan buah yang manis bagi kemajuan bangsa. DR Musthafa Dieb Al Bugha Muhyidin Mistu menjelaskan rasa malu akan membuahkan iffah (kesucian diri). Maka barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya. Selain itu, menurutnya rasa malu juga membuahkan sifat wafa’, yaitu selalu menepati janji.
Kedua sifat tersebut sangat penting untuk melahirkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Muara akhirnya yaitu rakyat akan hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Persoalannya, masih adakah rasa malu di tengah bangsa ini?
Bila rasa malu itu masih ada, para anggota legislatif tentu akan rajin turun mengunjungi masyarakat untuk menyelami berbagai persoalan kemudian mencari jalan keluarnya. Kita tidak akan membaca berita banyaknya anggota legislatif yang ditangkap KPK karena mengkorupsi uang rakyat. Tentu tidak akan ada cerita anggota legislatif yang sering bolos atau tidur pada saat rapat yang membahas berbagai persoalan rakyat. Sejumlah partai politik juga tidak akan mendaftarkan ”kadernya” yang menggunakan ijazah palsu untuk menjadi calon anggota legislatif.
Kalau rasa malu itu masih ada, para kepala daerah di negeri ini akan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat. Tidak akan banyak yang menunjukkan hidup dalam kemewahan sementara masyarakat yang dipimpinnya masih banyak yang kelaparan. Mereka tidak akan berlomba membeli kendaraan dinas dan membangun rumah dinas yang mewah sementara banyak gedung sekolah yang ambruk.
Rasa malu akan melahirkan pegawai negeri sipil yang senantiasa memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat. Tidak menarik berbagai pungutan liar dari masyarakat, tidak bolos dan tidak keluyuran pada jam kerja. Para guru dan dosen tidak akan bolos mengajar. Mereka akan mempersiapkan bahan ajar dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, para pejalar/mahasiswa yang punya rasa malu akan belajar sungguh-sungguh. Tidak akan nyontek pada saat ujian. Berusaha mempersembahkan prestasi terbaik untuk orangtua, bangsa dan negara.
Rasa malu merupakan ajaran para nabi-nabi terdahulu, sehingga perlu dipelihara sebagai akhlak yang menghiasi kehidupan. Jangan sampai terus terkikis oleh krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini. Karena itu, marilah kita belajar kembali ”ilmu malu”. Bila tidak, apa kata dunia?


0 komentar: