28 Februari 2009

Outbound Komunitas Outlet Merah Pontianak (KOMPAK)



Pada tanggal 17 Januari 2009 lalu, TELKOMSEL Pontianak menggelar "Outbound Kompak 2009" bagi Komunitas Outlet Merah Pontianak. Bertempat di Taman Agro Khatulistiwa Pontianak, kegiatan outbound yang mengangkat tema "Bangun Kekompakkan, Raih Keuntungan" tersebut diikuti sekitar 100 orang peserta.
Selama outbound, peserta mengikuti berbagai game yang menantang dan seru. Diantaranya flying fox, paintball (war game), two line bridge, balancing bridge, dan menara telkomsel.

Read More......

27 Februari 2009

Hukum Tanam Tuai

Oleh: Hamdani, SE

Untuk meraih sukses, ada sebuah hukum sederhana yang bisa diikuti, hukum tanam tuai. Siapa yang menanam, merawat, membesarkan dan sabar menunggunya akan dapat menuai dan memetik hasilnya dengan baik.

Kita tidak akan pernah menuai atau memetik buah rambutan dari halaman rumah sendiri, sebelum kita memiliki pohon rambutan yang tumbuh di halaman rumah. Kita tidak akan menuai atau memetik buahnya, sebelum kita menanam dan merawatnya dengan baik. Kita tidak akan menanam, sebelum kita menginginkan dengan kuat (memiliki motivasi yang kuat) agar pohon rambutan tersebut tumbuh subur di halaman rumah kita.
Begitulah alam mengajarkan. Ada proses yang harus dilalui untuk menggapai keberhasilan. Hal ini tidak hanya berlaku sebagai rumus bagi kehidupan pribadi, tetapi juga bagi sebuah organisasi masyarakat, partai politik, perusahaan, ataupun pemerintahan.

Apa yang kita tanam?
Bila kita menanam jeruk, tumbuh jeruk. Menanam pisang, tumbuh pisang. Menanam mangga, tumbuh mangga. Adalah tidak mungkin bila kita menanam pisang, kemudian tumbuh menjadi mangga. Jika ada, itu namanya keajaiban dunia. Karenanya, penting bagi kita untuk memperhatikan apa yang telah kita tanam selama ini.
Ambil contoh soal partai politik misalnya. Bagi para pengurus partai politik, tentu simpati, dukungan, dan kepercayaan dari masyarakat sangatlah penting. Masyarakat diharapkan menjatuhkan pilihan kepada partainya atau kader-kader “terbaiknya” pada saat pemilihan umum maupun pilkada. Itu adalah buah yang bisa dipetik bila para pengurus partai, para kader dan anggota legislatifnya mau menanam kepedulian terhadap masyarakat. Sensitif terhadap permasalahan masyarakat. Mau memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Membuat program-program yang memihak kepentingan masyarakat, bukan hanya pada saat atau menjelang pemilu maupun pilkada.
Namun, sederet kekecewaan, kebencian, dan antipati masyarakatlah yang dituai bila selama ini para pengurus partai, kader, dan anggota legislatifnya cuek alias tidak peduli dengan derita masyarakat. Disaat masyarakat terjepit derita kemiskinan, anggota legislatif tertawa bahagia menikmati uang rapel dan kenaikkan gaji. Jangan sebut soal dukungan pada saat pemilu atau pilkada, bila perilaku para kader partai yang menjadi legislatif atau eksekutif kerapkali melukai hati masyarakat.
Saya pun sering mendengar para politisi di daerah ini mengeluhkan banyaknya masyarakat yang mengajukan proposal untuk meminta bantuan dana kepada partai maupun kepada personal untuk kegiatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu. Masyarakat seakan memposisikan partai ataupun anggota legislatif sebagai “lumbung duit”. Adalah wajar hal ini terjadi, sebab itulah yang ditanamkan para politisi selama ini. Setiap kali pemilu atau pilkada digelar, selalu mencuat ada money politic. Tentu akan berbeda ceritanya bila yang dikembangkan adalah politik yang bersih.
Dalam konteks pemerintahan, hukum tanam tuai ini pun bekerja. Apa yang pemerintah daerah tanam, itulah yang akan dituai. Bila kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang ditanam dan dirawat, maka KKN akan terus tumbuh subur, kemudian akan menggerogoti kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Akan banyak temuan dan kebocoran dimana-mana. Kualitas pelayanan publik menjadi menurun, dan masyarakat tidak akan percaya lagi dengan pemerintah daerah. Selanjutnya, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi.
Pelayanan publik yang baik tentunya lahir dari tata kelola pemerintahan yang baik pula (good governance). Diantaranya disana ada kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, efisensi dan efektivitas. Karenanya, akan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Bila ditelusuri, penyakit KKN merupakan buah dari bobroknya sebagian mental para aparatur. Itu juga buah dari “sangsotnya” proses rekruitmen dan minimnya pembinaan mental spiritual. Namun apa yang terjadi sebenarnya? Sesungguhnya saya tidak berani menduga-duga. Saya pikir pemerintah daerahlah yang paling tahu apa yang sudah dan sedang ditanamnya. Buahnya? Yang jelas, masyarakat juga yang akan “menikmati”.
Apa yang sudah kita tanam? Inilah pertanyaan yang perlu direnungkan kita semua. Contoh lain misalnya soal problematika generasi muda. Berbagai kalangan di daerah ini mendambakan lahirnya generasi penerus yang berkualitas. Generasi yang memiliki karakter kuat, memiliki integritas, yang kemudian bisa diharapkan melanjutkan estafet pembangunan di daerah ini. Pertanyaannya adalah, apa yang ditanamkan kepada generasi muda hari ini? Mengapa pula kita masih membaca di media massa pemerintah daerah begitu pelit mengalokasikan anggaran untuk pendidikan, pelatihan, dan pembinaan generasi muda?

Rawat dan Tuailah
Sebagian kita kadang tidak sabar. Ingin cepat, dan tidak mau repot-repot. Tidak mau susah menanam. Tidak mau sibuk merawat. Padahal ada proses dan tahapan yang harus dilalui. Keindahan taman bunga tidak akan bisa kita nikmati begitu saja dengan sekedar menanam bunga. Tetapi harus ditata dan dirawat dengan baik. Disirami setiap hari. Rumput yang mengganggu pun harus dicabuti.
Itulah fitrah alam. Karenanya, kita perlu menghindari berpikir jangka pendek, cepat beres dan tidak sabar. Ada jarak antara saat menanam dengan saat panen, dan itu memerlukan pengorbanan. Ada pula jarak antara saat kita bekerja dengan penuh ketekunan dengan kesuksesan yang diraih.
Tapi yakinlah, bila kita menanam kebaikkan, akan menuai kebaikkan. Berbuat baiklah, sebagaimana setiap orang ingin diperlakukan dengan baik. Memberilah dahulu, baru kita akan menerima. Jika kita berbuat baik, sesungguhnya kita berbuat baik untuk diri kita sendiri. Jika kita berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi diri kita sendiri. Begitulah agama yang saya yakini mengajarkan.
Jika baru mulai menanam hari ini, jangan berharap langsung bisa memetik buahnya besok. Bersabarlah, dan rawatlah dulu, baru anda akan memetik hasilnya.

Penulis adalah trainer muda Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Pontianak

Read More......

Belajar Mendengarkan

Oleh: Hamdani, SE

Ternyata rahasia kemampuan komunikasi bukan hanya terletak pada kemampuan berbicara, menyampaikan ide dan gagasan. Kemampuan komunikasi terkait erat dengan kemampuan mendengarkan. Hasil penelitian tentang keterampilan komunikasi yang dilakukan oleh Rankin (1929) menunjukkan hasil bahwa dalam komunikasi sarana yang banyak digunakan adalah mendengarkan (45%), berbicara (30%), membaca (16%), dan menulis (9%). Penelitian serupa juga dilakukan Baerker (1980), dan menyajikan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu komunikasi membutuhkan sarana mendengarkan (53%), berbicara (16%), membaca (17%), dan menulis (14%).

Kedua hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa kebutuhan mendengarkan merupakan kegiatan komunikasi yang paling penting. Sayangnya, kebanyakan dari kita adalah pendengar yang buruk. Tidak mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kerap kali memotong pembicaraan orang. Ketika ada yang berbicara, sibuk dengan diri sendiri. Tidak menghargai orang yang berbicara. Masih melihat siapa yang berbicara, bukan pada apa yang disampaikannya. Lebih melihat cara penyampaian, bukan pada isi pembicaraan.
Barangkali itulah yang membuat JA Devito (1997) berkomentar: ”Mendengar secara efektif tidaklah mudah, diperlukan waktu dan energi.” Sebab memang mendengar bukan sekedar "masuk kiri keluar kanan" atau sebaliknya. Mendengar berarti benar-benar mencoba memahami apa yang dikatakan orang lain. Mendengar adalah sebuah proses serius. Namun, bila kita mau belajar dan berlatih, tentu masih ada peluang untuk memperbaiki efektifitas mendengarkan. Sebab keterampilan komunikasi inilah yang akan digunakan untuk mempengaruhi orang lain, keluarga, organisasi, tim, atau meneruskan ide dan gagasan kepada orang yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama.
Sudahkah anda belajar mendengarkan? Stephen R Covey menyangsikan hal itu. Menurutnya, anda sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar bagaimana membaca dan menulis, bertahun-tahun belajar bagaimana berbicara. Tetapi, bagaimana dengan mendengarkan? Pelatihan atau pendidikan apa yang sudah anda dapatkan yang memungkinkan anda mendengarkan sehingga anda benar-benar mengerti orang lain secara mendalam.
Ya, belajar mendengarkan. Ada sebuah kebiasaan yang kerap dilakukan oleh orang-orang cerdas dan para ulama besar. Kebiasaan yang menjadi jalan mereka untuk mengetahui aib dirinya. Menurut Said Hawwa, salah satunya adalah dengan ia meminta kepada seorang teman yang jujur, beragama dan “tajam penglihatan” menjadi pengawas dirinya untuk memperhatikan berbagai keadaan dan perbuatannya, kemudian menunjukkan kepadanya berbagai akhlak tercela, perbuatan yang tidak baik dan aibnya, baik yang batin ataupun yang zhahir. Intinya, meminta masukan pada orang lain atas kekurangan dalam diri.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan. Umar ra berkata: ”Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib diriku.” Umar ra biasa bertanya kepada Salman tentang aib dirinya. Ketika Salman datang kepadanya, Umar ra bertanya: ”Apa yang telah kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai?” Salman tidak bersedia mengatakannya, tetapi setelah didesak terus oleh Umar ra akhirnya ia mengatakan: ”Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan dua macam kuah dalam satu hidangan, dan engkau punya dua jubah, satu jubah untuk siang hari dan satu jubah lagi untuk malam hari.” Umar ra bertanya: ”Apakah ada lagi yang kamu dengar selain itu?” Salman menjawab: ”Tidak” Umar ra berkata: ”Adapun dua hal itu maka akan aku tinggalkan.”
Umar ra juga bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata: ”Kamu adalah pemegang rahasia Rasulullah saw tentang orang-orang munafiq, apakah kamu melihat suatu fenomena kemusyrikan dalam diriku?” Yang menarik, sekalipun Umar ra memiliki kedudukan yang sangat mulia dan tinggi di kalangan para sahabat, tetapi beliau tidak segan meminta dan mendengar kritikan dari sahabat yang lainnya. Beliau begitu curiga terhadap dirinya sendiri.
Mari bandingkan dengan kondisi saat ini. Kita menyaksikan banyak kalangan tidak siap mendengar saran, masukan maupun kritik. Apalagi bila kritik tersebut datang dari seseorang yang dianggap tidak selevel dengannya. Sejumlah pimpinan tidak mau mengakomodir pendapat bawahannya. Para elit cuek dengan aspirasi dari masyarakat yang dipimpinnya. Sejumlah politisi kerap tidak ambil pusing saran konstituennya. Atau maaf, kalaupun mendengar, hanya berpura-pura mendengar. Masih mendengar secara selektif. Sedikit sekali yang mendengar dengan empatik. Mendengar dengan maksud untuk mengerti. Benar-benar berusaha untuk mengerti.
Entahlah. Saya tidak tahu apakah banyak diantara kita yang mengalami penyakit kesulitan mendengar atau tidak. Saya tidak bermaksud bahwa mereka tuli. Saya pernah membaca sebuah artikel di internet, seorang penulis mengutip pandangan Kevin J Murphy dalam buku berjudul ”Back to Basics Listening”. Dijelaskan ada lima kendala dalam proses mendengar, saya kutip beberapa diantaranya.
Pertama, preconceived ideas. Gejala inilah yang melahirkan istilah "pikiran sempit atau cetek", "keras kepala" atau "masuk kiri keluar kanan" atau malah "otak udang" dan "otak di dengkul". Preconceived ideas adalah berbagai ide dan gagasan atau pemahaman yang sudah terlanjur mendominasi pemikiran seseorang. Kendala ini mengakibatkan munculnya penolakan terhadap berbagai input baru ke dalam pemikiran. Kendala ini juga berhubungan dengan ego, rasa tidak nyaman dan kemalasan. Dampaknya adalah kecenderungan untuk menggeneralisir dan bereaksi tanpa fakta-fakta yang lengkap.
Berikutnya adalah a lack of interest. Kendala ini, masih menurut Kevin J Murphy, adalah kendala yang paling susah dijinakkan. Manusia cenderung mengaitkan sesuatu hanya dengan hal-hal yang dimengerti, dengan orang atau dengan sesuatu yang bisa memberi manfaat secara pribadi. Jika sesuatu tidak menarik, anda cenderung akan mengabaikannya. “Adalah lebih mudah untuk mendengarkan tentang kenaikan gaji atau kenaikan penjualan. Mengapa? Sebab hal-hal itu memang lebih mudah dimengerti dan mempunyai akibat langsung yang bisa diukur”, jelasnya.
Kendala lain yang dianggap menghambat efektifitas proses mendengar adalah talking too much. Ada yang mengatakan, seseorang yang terlalu banyak berbicara cenderung dilatarbelakangi oleh rasa bersalah, takut, khawatir, tidak nyaman atau sifat egois. Orang yang talkholic merasa bahwa mereka harus bicara, wajib bicara, hanya untuk mendengar dirinya sendiri berbicara. Efek samping dari berbicara terlalu banyak adalah hilangnya dialog yang penuh arti karena pihak lain yang log out. Orang lain justru akan mengabaikannya. Orang bijak mengatakan: “Semakin banyak kamu berbicara, semakin sedikit kamu mendengarkan. Semakin banyak kamu berbicara, semakin sedikit orang yang lain akan mendengarkan.”
Semoga kita bisa menjadi pendengar yang baik. Bukankah Allah SWT memberi kita dua telinga dan satu mulut, supaya kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara?

Penulis adalah trainer muda Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Pontianak.

Read More......

Outbound Training Bersama TRUSTCO Pontianak

Get learning in challenge, excite, inspiring, fun, and friendly

Pengembangan kekuatan dan potensi sumber daya manusia harus dilakukan secara sistematis, terprogram dan terus-menerus dengan menyentuh seluruh aspek kekuatan dan potensi manusia. Karena itu, Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Pontianak membuka program Outbound Training sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia, terutama untuk membangun jiwa kepemimpinan (leadership), pengembangan tim (team building), pengembangan strategi, gagasan dan karya (productivity development).

Hamdani SE, Direktur Trustco Pontianak menjelaskan bahwa alam bebas dengan segala tantangan dan kesulitannya merupakan sarana terbaik untuk melatih dan menempa pribadi serta membentuk sikap mental, sehingga memiliki kekuatan pada rasa percaya diri, kepemimpinan, kebersamaan, keberanian menghadapi tantangan dan resiko serta kesabaran mengatasi kesulitan.
Menurut Dia, berbagai simulasi atau permainan yang diberikan dalam program outbound bertujuan untuk melihat seseorang dalam wujud asli, sehingga terlihat berbagai potensi, kelebihan dan kelemahan pribadinya, serta peserta dapat mengambil berbagai hikmah. Pelatihan ini sangat membutuhkan kejujuran diri dan menerapkan gaya pendidikan orang dewasa (andragogi). Potensi yang ditemukan akan dikembangkan dan dimanfaatkan, sedangkan kelemahan yang ditemukan harus segera disadari untuk diperbaiki.
Di tahun 2009, Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Pontianak membuka tiga paket utama program Outbound Training, yaitu (1) Paket Leadership, (2) Paket Team Building dan (3) Paket Motivation. Setiap paket terdiri dari tiga macam variasi permainan, mulai dari yang beresiko rendah (low impact), sedang (middle impact) dan tinggi (high impact).
”Diantara permainan yang sangat menantang dan sangat populer, sekarang kami memiliki paintball yaitu simulasi tempur (war game) yang sangat bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan kerjasama. Selain itu ada juga flying fox, two line bridge, hunter, fire jamp, dan permainan seru lainnya,” ujarnya.
Bagi kampus, instansi pemerintah, atau perusahaan yang ingin menjadikan outbound training sebagai program terbaik pengembangan sumber daya manusia, dapat menghubungi LMT Trustco Pontianak di Jalan Abdurrahman Saleh III No.7 Pontianak. Telp/Fax (0561) 735155.

Read More......