27 Februari 2009

Hukum Tanam Tuai

Oleh: Hamdani, SE

Untuk meraih sukses, ada sebuah hukum sederhana yang bisa diikuti, hukum tanam tuai. Siapa yang menanam, merawat, membesarkan dan sabar menunggunya akan dapat menuai dan memetik hasilnya dengan baik.

Kita tidak akan pernah menuai atau memetik buah rambutan dari halaman rumah sendiri, sebelum kita memiliki pohon rambutan yang tumbuh di halaman rumah. Kita tidak akan menuai atau memetik buahnya, sebelum kita menanam dan merawatnya dengan baik. Kita tidak akan menanam, sebelum kita menginginkan dengan kuat (memiliki motivasi yang kuat) agar pohon rambutan tersebut tumbuh subur di halaman rumah kita.
Begitulah alam mengajarkan. Ada proses yang harus dilalui untuk menggapai keberhasilan. Hal ini tidak hanya berlaku sebagai rumus bagi kehidupan pribadi, tetapi juga bagi sebuah organisasi masyarakat, partai politik, perusahaan, ataupun pemerintahan.

Apa yang kita tanam?
Bila kita menanam jeruk, tumbuh jeruk. Menanam pisang, tumbuh pisang. Menanam mangga, tumbuh mangga. Adalah tidak mungkin bila kita menanam pisang, kemudian tumbuh menjadi mangga. Jika ada, itu namanya keajaiban dunia. Karenanya, penting bagi kita untuk memperhatikan apa yang telah kita tanam selama ini.
Ambil contoh soal partai politik misalnya. Bagi para pengurus partai politik, tentu simpati, dukungan, dan kepercayaan dari masyarakat sangatlah penting. Masyarakat diharapkan menjatuhkan pilihan kepada partainya atau kader-kader “terbaiknya” pada saat pemilihan umum maupun pilkada. Itu adalah buah yang bisa dipetik bila para pengurus partai, para kader dan anggota legislatifnya mau menanam kepedulian terhadap masyarakat. Sensitif terhadap permasalahan masyarakat. Mau memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Membuat program-program yang memihak kepentingan masyarakat, bukan hanya pada saat atau menjelang pemilu maupun pilkada.
Namun, sederet kekecewaan, kebencian, dan antipati masyarakatlah yang dituai bila selama ini para pengurus partai, kader, dan anggota legislatifnya cuek alias tidak peduli dengan derita masyarakat. Disaat masyarakat terjepit derita kemiskinan, anggota legislatif tertawa bahagia menikmati uang rapel dan kenaikkan gaji. Jangan sebut soal dukungan pada saat pemilu atau pilkada, bila perilaku para kader partai yang menjadi legislatif atau eksekutif kerapkali melukai hati masyarakat.
Saya pun sering mendengar para politisi di daerah ini mengeluhkan banyaknya masyarakat yang mengajukan proposal untuk meminta bantuan dana kepada partai maupun kepada personal untuk kegiatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu. Masyarakat seakan memposisikan partai ataupun anggota legislatif sebagai “lumbung duit”. Adalah wajar hal ini terjadi, sebab itulah yang ditanamkan para politisi selama ini. Setiap kali pemilu atau pilkada digelar, selalu mencuat ada money politic. Tentu akan berbeda ceritanya bila yang dikembangkan adalah politik yang bersih.
Dalam konteks pemerintahan, hukum tanam tuai ini pun bekerja. Apa yang pemerintah daerah tanam, itulah yang akan dituai. Bila kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang ditanam dan dirawat, maka KKN akan terus tumbuh subur, kemudian akan menggerogoti kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Akan banyak temuan dan kebocoran dimana-mana. Kualitas pelayanan publik menjadi menurun, dan masyarakat tidak akan percaya lagi dengan pemerintah daerah. Selanjutnya, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi.
Pelayanan publik yang baik tentunya lahir dari tata kelola pemerintahan yang baik pula (good governance). Diantaranya disana ada kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, efisensi dan efektivitas. Karenanya, akan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Bila ditelusuri, penyakit KKN merupakan buah dari bobroknya sebagian mental para aparatur. Itu juga buah dari “sangsotnya” proses rekruitmen dan minimnya pembinaan mental spiritual. Namun apa yang terjadi sebenarnya? Sesungguhnya saya tidak berani menduga-duga. Saya pikir pemerintah daerahlah yang paling tahu apa yang sudah dan sedang ditanamnya. Buahnya? Yang jelas, masyarakat juga yang akan “menikmati”.
Apa yang sudah kita tanam? Inilah pertanyaan yang perlu direnungkan kita semua. Contoh lain misalnya soal problematika generasi muda. Berbagai kalangan di daerah ini mendambakan lahirnya generasi penerus yang berkualitas. Generasi yang memiliki karakter kuat, memiliki integritas, yang kemudian bisa diharapkan melanjutkan estafet pembangunan di daerah ini. Pertanyaannya adalah, apa yang ditanamkan kepada generasi muda hari ini? Mengapa pula kita masih membaca di media massa pemerintah daerah begitu pelit mengalokasikan anggaran untuk pendidikan, pelatihan, dan pembinaan generasi muda?

Rawat dan Tuailah
Sebagian kita kadang tidak sabar. Ingin cepat, dan tidak mau repot-repot. Tidak mau susah menanam. Tidak mau sibuk merawat. Padahal ada proses dan tahapan yang harus dilalui. Keindahan taman bunga tidak akan bisa kita nikmati begitu saja dengan sekedar menanam bunga. Tetapi harus ditata dan dirawat dengan baik. Disirami setiap hari. Rumput yang mengganggu pun harus dicabuti.
Itulah fitrah alam. Karenanya, kita perlu menghindari berpikir jangka pendek, cepat beres dan tidak sabar. Ada jarak antara saat menanam dengan saat panen, dan itu memerlukan pengorbanan. Ada pula jarak antara saat kita bekerja dengan penuh ketekunan dengan kesuksesan yang diraih.
Tapi yakinlah, bila kita menanam kebaikkan, akan menuai kebaikkan. Berbuat baiklah, sebagaimana setiap orang ingin diperlakukan dengan baik. Memberilah dahulu, baru kita akan menerima. Jika kita berbuat baik, sesungguhnya kita berbuat baik untuk diri kita sendiri. Jika kita berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi diri kita sendiri. Begitulah agama yang saya yakini mengajarkan.
Jika baru mulai menanam hari ini, jangan berharap langsung bisa memetik buahnya besok. Bersabarlah, dan rawatlah dulu, baru anda akan memetik hasilnya.

Penulis adalah trainer muda Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Pontianak

0 komentar: