27 Februari 2009

Belajar Mendengarkan

Oleh: Hamdani, SE

Ternyata rahasia kemampuan komunikasi bukan hanya terletak pada kemampuan berbicara, menyampaikan ide dan gagasan. Kemampuan komunikasi terkait erat dengan kemampuan mendengarkan. Hasil penelitian tentang keterampilan komunikasi yang dilakukan oleh Rankin (1929) menunjukkan hasil bahwa dalam komunikasi sarana yang banyak digunakan adalah mendengarkan (45%), berbicara (30%), membaca (16%), dan menulis (9%). Penelitian serupa juga dilakukan Baerker (1980), dan menyajikan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu komunikasi membutuhkan sarana mendengarkan (53%), berbicara (16%), membaca (17%), dan menulis (14%).

Kedua hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa kebutuhan mendengarkan merupakan kegiatan komunikasi yang paling penting. Sayangnya, kebanyakan dari kita adalah pendengar yang buruk. Tidak mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kerap kali memotong pembicaraan orang. Ketika ada yang berbicara, sibuk dengan diri sendiri. Tidak menghargai orang yang berbicara. Masih melihat siapa yang berbicara, bukan pada apa yang disampaikannya. Lebih melihat cara penyampaian, bukan pada isi pembicaraan.
Barangkali itulah yang membuat JA Devito (1997) berkomentar: ”Mendengar secara efektif tidaklah mudah, diperlukan waktu dan energi.” Sebab memang mendengar bukan sekedar "masuk kiri keluar kanan" atau sebaliknya. Mendengar berarti benar-benar mencoba memahami apa yang dikatakan orang lain. Mendengar adalah sebuah proses serius. Namun, bila kita mau belajar dan berlatih, tentu masih ada peluang untuk memperbaiki efektifitas mendengarkan. Sebab keterampilan komunikasi inilah yang akan digunakan untuk mempengaruhi orang lain, keluarga, organisasi, tim, atau meneruskan ide dan gagasan kepada orang yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama.
Sudahkah anda belajar mendengarkan? Stephen R Covey menyangsikan hal itu. Menurutnya, anda sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar bagaimana membaca dan menulis, bertahun-tahun belajar bagaimana berbicara. Tetapi, bagaimana dengan mendengarkan? Pelatihan atau pendidikan apa yang sudah anda dapatkan yang memungkinkan anda mendengarkan sehingga anda benar-benar mengerti orang lain secara mendalam.
Ya, belajar mendengarkan. Ada sebuah kebiasaan yang kerap dilakukan oleh orang-orang cerdas dan para ulama besar. Kebiasaan yang menjadi jalan mereka untuk mengetahui aib dirinya. Menurut Said Hawwa, salah satunya adalah dengan ia meminta kepada seorang teman yang jujur, beragama dan “tajam penglihatan” menjadi pengawas dirinya untuk memperhatikan berbagai keadaan dan perbuatannya, kemudian menunjukkan kepadanya berbagai akhlak tercela, perbuatan yang tidak baik dan aibnya, baik yang batin ataupun yang zhahir. Intinya, meminta masukan pada orang lain atas kekurangan dalam diri.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan. Umar ra berkata: ”Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib diriku.” Umar ra biasa bertanya kepada Salman tentang aib dirinya. Ketika Salman datang kepadanya, Umar ra bertanya: ”Apa yang telah kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai?” Salman tidak bersedia mengatakannya, tetapi setelah didesak terus oleh Umar ra akhirnya ia mengatakan: ”Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan dua macam kuah dalam satu hidangan, dan engkau punya dua jubah, satu jubah untuk siang hari dan satu jubah lagi untuk malam hari.” Umar ra bertanya: ”Apakah ada lagi yang kamu dengar selain itu?” Salman menjawab: ”Tidak” Umar ra berkata: ”Adapun dua hal itu maka akan aku tinggalkan.”
Umar ra juga bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata: ”Kamu adalah pemegang rahasia Rasulullah saw tentang orang-orang munafiq, apakah kamu melihat suatu fenomena kemusyrikan dalam diriku?” Yang menarik, sekalipun Umar ra memiliki kedudukan yang sangat mulia dan tinggi di kalangan para sahabat, tetapi beliau tidak segan meminta dan mendengar kritikan dari sahabat yang lainnya. Beliau begitu curiga terhadap dirinya sendiri.
Mari bandingkan dengan kondisi saat ini. Kita menyaksikan banyak kalangan tidak siap mendengar saran, masukan maupun kritik. Apalagi bila kritik tersebut datang dari seseorang yang dianggap tidak selevel dengannya. Sejumlah pimpinan tidak mau mengakomodir pendapat bawahannya. Para elit cuek dengan aspirasi dari masyarakat yang dipimpinnya. Sejumlah politisi kerap tidak ambil pusing saran konstituennya. Atau maaf, kalaupun mendengar, hanya berpura-pura mendengar. Masih mendengar secara selektif. Sedikit sekali yang mendengar dengan empatik. Mendengar dengan maksud untuk mengerti. Benar-benar berusaha untuk mengerti.
Entahlah. Saya tidak tahu apakah banyak diantara kita yang mengalami penyakit kesulitan mendengar atau tidak. Saya tidak bermaksud bahwa mereka tuli. Saya pernah membaca sebuah artikel di internet, seorang penulis mengutip pandangan Kevin J Murphy dalam buku berjudul ”Back to Basics Listening”. Dijelaskan ada lima kendala dalam proses mendengar, saya kutip beberapa diantaranya.
Pertama, preconceived ideas. Gejala inilah yang melahirkan istilah "pikiran sempit atau cetek", "keras kepala" atau "masuk kiri keluar kanan" atau malah "otak udang" dan "otak di dengkul". Preconceived ideas adalah berbagai ide dan gagasan atau pemahaman yang sudah terlanjur mendominasi pemikiran seseorang. Kendala ini mengakibatkan munculnya penolakan terhadap berbagai input baru ke dalam pemikiran. Kendala ini juga berhubungan dengan ego, rasa tidak nyaman dan kemalasan. Dampaknya adalah kecenderungan untuk menggeneralisir dan bereaksi tanpa fakta-fakta yang lengkap.
Berikutnya adalah a lack of interest. Kendala ini, masih menurut Kevin J Murphy, adalah kendala yang paling susah dijinakkan. Manusia cenderung mengaitkan sesuatu hanya dengan hal-hal yang dimengerti, dengan orang atau dengan sesuatu yang bisa memberi manfaat secara pribadi. Jika sesuatu tidak menarik, anda cenderung akan mengabaikannya. “Adalah lebih mudah untuk mendengarkan tentang kenaikan gaji atau kenaikan penjualan. Mengapa? Sebab hal-hal itu memang lebih mudah dimengerti dan mempunyai akibat langsung yang bisa diukur”, jelasnya.
Kendala lain yang dianggap menghambat efektifitas proses mendengar adalah talking too much. Ada yang mengatakan, seseorang yang terlalu banyak berbicara cenderung dilatarbelakangi oleh rasa bersalah, takut, khawatir, tidak nyaman atau sifat egois. Orang yang talkholic merasa bahwa mereka harus bicara, wajib bicara, hanya untuk mendengar dirinya sendiri berbicara. Efek samping dari berbicara terlalu banyak adalah hilangnya dialog yang penuh arti karena pihak lain yang log out. Orang lain justru akan mengabaikannya. Orang bijak mengatakan: “Semakin banyak kamu berbicara, semakin sedikit kamu mendengarkan. Semakin banyak kamu berbicara, semakin sedikit orang yang lain akan mendengarkan.”
Semoga kita bisa menjadi pendengar yang baik. Bukankah Allah SWT memberi kita dua telinga dan satu mulut, supaya kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara?

Penulis adalah trainer muda Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Pontianak.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

test wah hahahahaha hhihihihii

assalamu'alaikum